Diberdayakan oleh Blogger.

Renung ..

Jumat, 30 Januari 2009

Berdiri tegaklah di hadapan pintu Tuhanmu,//Tinggalkanlah yang lain./Mohonkan padanya selamat/Dari perdayaan negeri yang penuh fitnah ini
(Al Haddad)
Kita hidup di dunia yang tua, nyaris kehilangan nafas kehidupannya. Dunia yang lebih banyak menggambarkan kehilangan daripada harapan. Dunia yang meletakkan dominasi akal diatas cinta. Yang menggambarkan dualitas jiwa dan materi, melemparkan wahyu ke sudut peradaban.
Janganlah takjub terhadap barat ataupun timur.//Karena dunia lama dan baru ini,/Tidak sebanding dengan harga sebiji gandum
(Sir Muhammad Iqbal, Javid Nama)

Indonesia, sebuah negeri yang hiruk pikuknya justru berarti kegetiran. Negeri yang selalu menjadi anomali saat terjajar dengan negeri lain. Negeri yang menua dengan kelelahan dan tanpa masa depan. Dan nafasnya kini semakin berat…
Tapi tidak! Bukan berarti aku tak mencintai negeriku. Bahkan aku mencintainya lebih daripada sosok-sosok berlabel ‘nasionalis’ di Majelis Rendah itu! Aku mencintai Indonesia seperti Bilal saat mengenang Mekkah. Demikianlah Islam mengajariku mencintai negeriku, bahkan saat kutahu tiada satu alasan rasional pun yang bisa membuatku mencintainya.
Sungguh, telah kuteriakkan kegelisahan itu. Mengingatkan Indonesia bahwa ia telah rapuh dan kan terkeping-keping. Mengatakan padanya bahwa gemah ripah loh jinawi itu telah menjadi kosakata dongeng. Memintanya untuk taubat. Untuk bersujud. Untuk membumi bertemu dengan nurani ibu pertiwi. Untuk merendah bertemu dengan kuasa Allah. Indonesia - sungguh - telah kuminta untuk bersujud.
Tapi mungkin ia butuh masjid. Indonesia butuh masjid. Tempat ia bertafakur menemukan nurani. Menemukan Tuhan, menemukan akhlaq hidup bernama Islam.
…………//Ya Allah//Kami dengan cemas menunggu//kedatangan burung dara//yang membawa ranting zaitun.//Di kaki bianglala//leluhur kami bersujud dan berdoa.//Isinya persis doaku ini.//Lindungilah anak cucuku.//Lindungilah daya hidup mereka.//Lindungilah daya cipta mereka.//Ya Allah, satu-satunya Tuhan kami.//Sumber dari hidup kami ini.//Kuasa Yang Tanpa Tandingan//Tempat tumpuan dan gantungan.//Tak ada samanya//di seluruh semesta raya.//Allah! Allah! Allah! Allah!
(W.S. Rendra, Doa untuk Anak-cucuku, 1992)
Tapi bagaimanakah membangun masjid untuk negeri ini? Aku percaya bahwa cara terbaik adalah mengawalinya dengan membangun sarang. Dengan butir-butir, dengan batang-batang, dan dengan lembar daun-daun. Meski itu hanyalah rerumputan sederhana. Sarang ‘peradaban’ yang bermula shalat-sujud penyerahan dan pengorbanan. Sarang ‘perjuangan’ dengan awal sajadah terhampar. Sajadah cinta.
Dari sarang ‘peradaban’ inilah yang InsyaAllah kelak akan tercipta generasi baru. Masa depan Indonesia - bahkan umat manusia - adalah generasi ini. Generasi yang tumbuh dalam lingkungan kebaikan dan cinta, yang berhasil memenangkan kecenderungan kebaikannya (taqwa) atas ego kejahatannya (fujuur). Yang akan terus menerus tumbuh besar untuk menghadang angin. Terus menerus hingga angin kelelahan dan pulang.
Angin itu, Muhammad Quthb sebut sebagai kenyataan yang membuat kehidupan manusia akan tersusun atas keresahan, keraguan, atau kegelisahan. Kenyataan terus menerus yang katanya harus diatasi dengan “sarang” yang kokoh bernama keluarga bersama “teman” bernama pasangan hidup. Maha Benar Allah yang berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu menemukan rasa tenteram, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar Ruum 21)
Sarang ‘peradaban’ inilah yang melahirkan kekuatan maha dahsyat, kekuatan yang bisa memperbaiki -jika ia mau- atau menghancurkan sebuah bangsa. Sarang yang membuat Husain Muhammad Yusuf, dalam ahdaf al-usrah fil Islam, berani mengatakan bahwa inilah dasar dari sebuah negara, batu pertama untuk membangun negara. Ia melanjutkan dengan membahas betapa pentingnya keluarga ini, bahwa gambaran kekuatan yang dimiliki keluarga dan dalamnya fondasi nilai yang ada padanya, maka sejauh itulah gambaran moralitas dan kemuliaan bangsa tersebut. Inilah insfrastruktur utama masyarakat Islam dalam mengemban amanat istikhlaf - tugas-tugas kekhalifahan (Ismail Raji’ Al-Faruqi).


Read more...

Saatnya Kaum Muda Memimpin

Senin, 26 Januari 2009

Himmatus syabab, hikmatus syukhuh*". Semangat pemuda dan kebijaksanaan
seorang tua. Demikian sebuah adagium Arab mengatakan. Itulah gambaran ideal
karakter seorang pemimpin. Ia bersemangat berapi-api seperti pemuda dan
bijaksana laksana orang tua. Tentang kebijaksanaan, Victor Frankl, pakar
psikologi kenamaan, mengatakan bahwa mereka yang mampu memaknai setiap
aktivitasnya dalam hidup memiliki kekuatan untuk bertahan hidup di dunia
yang fana ini.
Bersemangat dan bijaksana. Dua hal yang saling melengkapi dan tak jarang
menjadi kontroversi. Seperti wacana "presiden muda versus presiden tua" yang
disuarakan salah satu pimpinan parpol Islam yang bergayung sambut dengan
tantangan bersaing di panggung pemilihan presiden 2009 dari salah satu calon
presiden dari sebuah partai terbesar di Indonesia saat ini.

Pemuda, seperti yang asosiasi yang melekat padanya, mewakili sesuatu yang
baru, perubahan. Wacana serupa yang juga diusung Barack Obama, 47 tahun,
calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat yang bertema "*the
change we can believe in*". Perubahan dan memercayai perubahan, itulah
semangat muda yang diusung Obama yang juga didukung mayoritas kalangan muda
Amerika Serikat.

Yang unik, seperti adagium di atas, Obama yang merupakan kandidat presiden
keturunan Muslim dan kulit hitam pertama di negara adikuasa tersebut
menggandeng seorang politisi kawakan berusia 65 tahun – yang dianggap
berpengalaman dalam persoalan internasional – Joe Biden sebagai kandidat
wakil presiden. Di sisi lain, lawan Obama yang dianggap sebagai kalangan tua
– John McCain – yang merupakan kandidat presiden AS tertua sepanjang
sejarah, 72 tahun, juga menggaet Sarah Palin, seorang gubernur negara bagian
Alaska, berusia 44 tahun sebagai kandidat wakil presiden. Sepertinya mereka
percaya betul dengan adagium di atas. Lalu bagaimana dengan kita di
Indonesia?

*Muda versus tua?*

Wacana "presiden muda versus presiden tua" di Indonesia yang sempat hangat
bergulir di media massa, konon, melemah tuahnya seiring sedemikian banyaknya
*statement *perelatifan yang dilakukan kalangan politisi di Indonesia – yang
didominasi kalangan berusia 50-an tahun ke atas – yang gencar menyerukan
bahwa kualitas kepemimpinan tak memandang usia atau wacana tua-muda hanya
memecah belah bangsa. Sangat disesalkan wacana berharga yang sebetulnya bisa
menjadi gelindingan diskursus yang lebih serius dan formal mengenai peran
kepemimpinan pemuda dalam bangsa Indonesia ini layu sebelum berkembang.

Sebetulnya, berpijak dari wacana tersebut, kita sebagai anak bangsa dapat
merangkai dan mengurut secara historis rekam jejak kontribusi pemuda dalam
kepemimpinan bangsa ini. Setidaknya sejak Sumpah Pemuda tahun 1928, sebagai
titik tolak bersama. Selanjutnya, berdasarkan kajian historis dan tinjauan
kekinian tersebut niscaya ada input produktif dan potensial bagi narasi
besar bangsa ini tentang konsep kepemimpinan bangsa ke depan, yang
jangkauannya tidak hanya sebatas hingga Pemilu 2009 tapi beberapa dekade ke
depan. Minimal dapat membuahkan sebuah konsep regenerasi atau suksesi
kepemimpinan negara yang teratur dan bervisi – namun dengan lebih humanis
dan demokratis -- seperti yang diterapkan Lee Kuan Yew di Singapura. Sayang
realitas politik praktis negeri ini terlalu kejam memangsa buah ide brilian
dari anak bangsanya sendiri.

Namun di sisi lain, sebagai pemuda, kita layak mengevaluasi dan
berintrospeksi apakah kontrbusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa (baca:
kepemimpinan pemuda) yang selama ini didengung-dengungkan – di mana
peristiwa Sumpah Pemuda secara kolektif dikenang sebagai tonggak historis –
merupakan mitos atau fakta. Sebagai komunitas atau bangsa, sesuai fungsinya,
kadang mitos memang diperlukan untuk membangkitkan semangat atau
membangkitkan kenangan heroik nan patriotik. Namun, mitos yang kelewat megah
juga acapkali membelenggu dan memanjakan para pengagum yang menganggapnya
sebagai hal yang *taken for granted*, diberikan begitu saja. Padahal
realitas keseharian kita membuktikan bahwa *no free lunch*, tidak ada hal
yang gratis alias diberikan begitu saja. Semua perlu ikhtiar dan tekad kuat.

Memang versi resmi rekaman sejarah nasional berbicara bahwa pada setiap
pergolakan kekuasaan di negeri ini kalangan muda selalu tampil terdepan.
Bahkan jauh sebelum 1928, pada tahun 1905, H. Samanhudi sebagai tokoh muda
pedagang batik dari Semarang tampil membangun SDI (Serikat Dagang Islam)
sebagai organisasi perjuangan melawan dominasi penjajahan. Tahun 1908, dr.
Soetomo dari STOVIA, sebuah sekolah dokter Jawa yang didirikan Belanda,
mendirikan Boedi Utomo. Gerakan-gerakan perjuangan kebangsaan tersebut
memuncak pada 1928 ketika berbagai *jong* atau *bond *pemuda dari berbagai
penjuru nusantara menyatukan tekad kebangsaan pada Kongres Pemuda II di
Jakarta.

Saat proklamasi 1945, Soekarno dkk yang berusia 45-an tahun bergerak
mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Tahun 1966, Soe Hoek Gie dkk gantian
menggulingkan rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno – tokoh pemuda yang
berubah menjadi tiran. Tahun 1974, Hariman Siregar dkk menggoyang dominasi
produk Jepang di Indonesia di bawah rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Tahun
1998, gerakan reformasi 1998 yang dimotori kalangan mahasiswa melengserkan
Soeharto -- seorang perwira muda berusia 46 tahun yang menggantikan Soekarno
sebagai presiden Republik Indonesia melalui Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) 1966 – dan menjelma menjadi diktator yang berkuasa selama 32
tahun. Selepas 1998 pun berbagai aksi demonstrasi – sebuah fakta yang kasat
mata – banyak dilakukan pemuda dalam hal ini kalangan mahasiswa dan
intelektual muda.

Apakah semua itu murni kontribusi pemuda? Tidakkah kelewat berat beban
sejarah tersebut dipanggul sendirian oleh kalangan muda sebagai satu
kalangan dari banyak elemen penyusun sebuah bangsa?

Maaf, jika terkesan terlalu skeptis. Seperti kata Rene Descartes, "*I think
therefore I am*." Untuk menemukan kebenaran, salah satunya, kita harus
mempertanyakan banyak hal secara kritis. Termasuk terhadap diri kita
sendiri.

Kahlil Gibran berkata, "Kita semuanya terpenjara, namun beberapa di antara
kita berada dalam sel berjendela. Dan beberapa lainnya dalam sel tanpa
jendela." Nah, haruskah kita terpenjara dalam berbagai dikotomi yang
menyekat kehidupan sosial bangsa seperti nasionalis-religius, tua-muda, atau
ortodoks-progresif?

*Siapakah pemuda?*

Ada tiga hal yang merupakan ciri pemuda: perubahan, semangat dan
kemandirian. Perubahan sarat dengan muatan visi, gagasan, kepedulian dan
harapan. John C. Maxwell berujar, "Orang tidak peduli seberapa banyak yang
Anda ketahui, hingga mereka tahu seberapa jauh Anda peduli." Dalam *The
Seven Habits for Highly Effective People*, Stephen R. Covey berpesan,
"Taburlah gagasan petiklah perbuatan; taburlah perbuatan petiklah kebiasaan;
taburlah kebiasaan petiklah karakter; taburlah karakter petiklah nasib."

Harapan, menurut Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya berjudul *ESQ *(*Emotional
Spiritual Quotient*), 2005, adalah bahwa saat kita berjanji, sesungguhnya
kita menarik energi suara hati orang lain secara besar-besaran. Inilah yang
dinamakan harapan. Lalu energi itu kita bawa pulang, dan jika tidak kita
kembalikan ke sumbernya, keseimbangan orang lain akan terganggu. Harapan
(akan realisasi janji tersebut) telah kita tarik, dan belum kita kembalikan
(baca: janji belum terealisasi). Percayalah, setiap aksi akan menimbulkan
reaksi.

Sementara semangat mewakili aksioma optimisme dan proaktif. Menurut Stephen
R Covey, "Sikap proaktif sangat berguna bagi manusia terutama dalam
menghadapi rintangan maupun dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sikap
proaktif menunjukkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi." Lawan
proaktif adalah reaktif, lagi-lagi meminjam istilah Stephen R. Covey, "Reaktif
adalah sikap seseorang yang gagal membuat pilihan respon saat mendapat
rangsangan atau stimulus dari orang lain."

Dan kemandirian mewakili muatan kritisisme dan nalar. "Menerima ide-ide
tanpa berpikir merupakan virus yang meracuni kebutuhan manusia akan
pembebasan, berolah nalar, bertanya dan berimajinasi," ujar Milan Kundera.
Menurut sastrawan dan cendikiawan dunia ini, hal tersebut menelan individu
dalam kerumunan kolektif. Kebutuhan manusia akan individualitas, prinsip dan
orisinalitas lenyap dalam komunalitas tanpa makna. Ya, komunalitas tanpa
makna inilah yang saat ini, dalam konteks lokal, dalam salah satu bentuknya
menjelma dalam demonstrasi atau tawuran brutal.

Dalam 80 tahun (1908-2008) kontribusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa,
hukum besi semesta tersebut telah terbukti dalam berbagai bentuknya.

Namun, ada sebuah pertanyaan besar lain: apakah *pemuda *lebih merupakan
kata sifat atau kata benda? Perhatikan berbagai fakta sejarah tersebut di
atas. Sebagai kata sifat, ia tak butuh rupa fisik yang gagah. Sepanjang ia
memiliki semangat dan visi perubahan, ia adalah *pemuda*. Meskipun seorang
gaek sekalipun seperti Abdurrahman Wahid yang berusia 68 tahun. Sebagai kata
benda, ia memang harus muda, cergas dan lincah selayaknya Barack Obama. Tapi
banyak orang-orang muda gagah, berusia belia yang pemikirannya hanya
mengkopi ide-ide lama bahkan anti perubahan. Apakah mereka layak disebut *
pemuda* dalam artian sebenarnya?

Singkatnya, secara ideal, pemuda adalah kata sifat dan kata benda. Seorang
pemuda selain berusia muda (di bawah 50 tahun) juga memiliki visi perubahan
(ke arah yang lebih baik) dan memiliki semangat antusiasme yang besar.
Demikian juga soal *hikmatus syukhuh*, kebijaksanaan, yang erat
diasosiasikan dengan *privilege* kalangan tua—bahkan terkesan
dilegitimasikan dengan RUU Mahkamah Agung (MA) yang memperpanjang usia
pensiun hakim agung hingga usia 70 tahun – adalah hal yang juga lebih
merupakan kata sifat. Seorang pemuda, dengan intensitas dan interaksinya,
dapat memiliki kebijaksanaan tersebut dalam satu wujud. Tak perlu harus
dalam satu paket tua-muda seperti pola pencalonan kandidat presiden dan
wakil presiden di Amerika Serikat yang terkesan melestarikan dikotomi abadi
tersebut.

Jika ada standar saklek, itulah perubahan. Pemuda adalah perubahan. Itu
harga mati. Soekarno muda pada 1945 – tatkala usia 45 tahun--adalah seorang
pendobrak. Tapi ketika ia tak mau berubah, ia menjadi tiran, dan menua.
Soeharto muda mendobrak ekonomi bangsa selepas 1966 dengan konsep
pembangunan Repelita terencana. Tapi ketika ia tak mau berubah baik karena
alasan kroni atau korupsi, ia anti perubahan, ia menua. Lagi-lagi pemuda
adalah perubahan. Demikian hukum semesta yang berlaku pada kalangan
pergerakan dari Akbar Tanjung dkk (1966), Hariman Siregar dkk maupun
kalangan aktivis pergerakan 98 dan angkatan-angkatan pemuda yang akan terus
bermunculan.

*Yang muda yang memimpin*

Dalam kutipan panjangnya, Ary Ginanjar Agustian mengatakan,"Manajemen adalah
mengerjakan segalanya secara benar (*do the things right*); kepemimpinan
adalah mengerjakan hal-hal yang benar (*do the right thing*). Manajemen
melakukan efisiensi dalam menaiki tangga keberhasilan; sedangkan
kepemimpinan adalah menentukan apakah tangganya bersandar pada dinding yang
benar."

Untuk menentukan keberhasilan sang peletak tangga, kita memerlukan sumber
komitmen. Di level korporasi, Kouzes dan Postner (*Leadership Challenge*,
2002) mengatakan bahwa sumber komitmen yang tinggi bukanlah pada kokohnya *core
values* perusahaan tetapi lebih kepada *personal values* (nilai-nilai
pribadi) karyawan yang kokoh. Karena justru nilai pribadilah yang
sesungguhnya lebih tercermin dalam praktik kerja sehari-hari, bukan nilai
perusahaan. Inilah yang disebut *spiritual capital, *modal spiritual. Hal
ini dapat diproyeksikan dalam skup yang lebih luas yakni bangsa. Kita perlu
lapisan (baca: bukan hanya seorang tokoh atau pemimpin tunggal) pemimpin
yang berkomitmen berdasarkan modal spiritual.

Dalam konteks anatomi sejarah peradaban, kepemimpinan pemuda adalah hal yang
alamiah, fitrah. Di usia tua, seseorang cenderung lebih banyak berpikir dan
akibatnya cenderung lebih ragu atau takut memulai untuk sesuatu yang baru.
Sementara pemuda, dengan kemudaannya dan semangat menyala, cenderung
bertindak.

Namun, dalam banyak riwayat perjalanan sejarah, kalangan tua terbukti banyak
menyokong kalangan muda. Ini artinya kepemimpinan muda bukanlah hal yang
kelewat istimewa atau megah, yang harus dipuja-puja dengan meninggalkan atau
bahkan menginjak kalangan tua. Ia hanyalah merupakan pergiliran alamiah.

Maka membincangkan kontribusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa adalah
membincangkan suatu bangsa secara utuh, tak bisa terlepas dari kontribusi
elemen bangsa yang lain termasuk kalangan tua. Dalam teori *marketing*,
semua segmen sama, dan pemuda hanyalah merupakan satu segmen yang tingkat
urgensinya tergantung konteks. Jadi kepemimpinan pemuda adalah suatu fakta.
Tapi ia bukan pemuda *an-sich*. Ia adalah bagian elemen anak bangsa yang
tidak bisa berdiri sendiri. Dalam sebuah keluarga besar tak semua harus maju
terdepan. Tak lantas setiap orang muda membawa perubahan. Pemuda adalah kata
sifat dan kata benda, dan standarnya adalah perubahan. Sekalipun ia berusia
muda namun hanya membawa ide lama maka ia telah gagal sebagai
*pemuda*kendati mengusung bendera ormas pemuda dengan gegap-gempita.
Dan ia tak
layak sebagai pemegang estafet untuk menentukan ke arah mana tangga bangsa
akan disandarkan,

Seperti kata Isaac Newton, "*I could see farther because I was standing on
the giants' shoulders*." Jika para pemuda dapat memandang lebih jauh ke
depan, itu juga karena berpijak pada pengalaman dan kontribusi para raksasa
tua sebelumnya*. *Alangkah indahnya jika bangsa ini dapat menghapus segala
sekat dan dikotomi sosial yang ada dengan memerhatikan hukum besi semesta
dan sejarah bangsa yang merupakan *sunnatullah *bahwa adalah hak dan
kewajiban orang muda sebagai pemimpin dengan bimbingan kalangan yang lebih
tua sebagai pemandu. Jika demikian adanya, sebagai bangsa, kita *Insya Allah
* sangat yakin bahwa negeri ini pasti akan bangkit menjadi bangsa yang besar
sebagaimana sejarahnya di masa lampau. Percayalah, harapan itu masih ada.*
****

Read more...

Syair sang Pecinta "Rabi'ah Al - Adawiyah "

Tuhanku, tenggelamkan aku dalam cintaMu
Hingga tak ada sesuatupun yang menggangguku dalam jumpaMu
Tuhanku, bintang-gemintang berkelap-kelip
Manusia terlena dalam buai tidur lelap
Pintu-pintu istana pun telah rapat tertutup
Tuhanku, demikian malampun berlalu
Dan inilah siang datang menjelang
Aku menjadi resah gelisah
Apakah persembahan malamku Kau Terima
Hingga aku berhak mereguk bahagia
Ataukah itu Kau Tolak, hingga aku dihimpit duka,
Demi kemahakuasaan-Mu
Inilah yang akan selalu ku lakukan
Selama Kau Beri aku kehidupan
Demi kemanusiaan-Mu,
Andai Kau Usir aku dari pintuMu
Aku tak akan pergi berlalu
Karena cintaku padaMu sepenuh kalbu

2
Ya Allah, apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di dunia ini,
Berikanlah kepada musuh-musuhMu
Dan apa pun yang akan Engkau
Karuniakan kepadaku di akhirat nanti,
Berikanlah kepada sahabat-sahabatMu
Karena Engkau sendiri, cukuplah bagiku

3
Aku mengabdi kepada Tuhan
Bukan karena takut neraka
Bukan pula karena mengharap masuk surga
Tetapi aku mengabdi,
Karena cintaku padaNya
Ya Allah, jika aku menyembahMu
Karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya
Dan jika aku menyembahMu
Karena mengharap surga, campakkanlah aku darinya
Tetapi, jika aku menyembahMu
Demi Engkau semata,
Janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajahMu
Yang abadi padaku

4
Ya Allah
Semua jerih payahku
Dan semua hasratku di antara segala
Kesenangan-kesenangan
Di dunia ini, adalah untuk mengingat Engkau
Dan di akhirat nanti, diantara segala kesenangan
Adalah untuk berjumpa denganMu
Begitu halnya dengan diriku
Seperti yang telah Kau katakana
Kini, perbuatlah seperti yang Engkau Kehendaki

5
Aku mencintaiMu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu
Cinta karena diriku, adalah keadaan senantiasa mengingatMu
Cinta karena diriMu, adalah keadaanMu mengungkapkan tabir
Hingga Engkau ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk itu
Pujian bukanlah bagiku
BagiMu pujian untuk semua itu

6
Buah hatiku, hanya Engkau yang kukasihi
Beri ampunlah pembuat dosa yang datang kehadiratMu
Engkaulah harapanku, kebahagiaan dan kesenanganku
Hatiku telah enggan mencintai selain dari Engkau

7
Hatiku tenteram dan damai jika aku diam sendiri
Ketika Kekasih bersamaku
CintaNya padaku tak pernah terbagi
Dan dengan benda yang fana selalu mengujiku
Kapan dapat kurenungi keindahanNya
Dia akan menjadi mihrabku
Dan rahasiaNya menjadi kiblatku
Bila aku mati karena cinta, sebelum terpuaskan
Akan tersiksa dan lukalah aku di dunia ini
O, penawar jiwaku
Hatiku adalah santapan yang tersaji bagi mauMu
Barulah jiwaku pulih jika telah bersatu dengan Mu
O, sukacita dan nyawaku, semoga kekallah
Jiwaku, Kaulah sumber hidupku
Dan dariMu jua birahiku berasal
Dari semua benda fana di dunia ini
Dariku telah tercerah
Hasratku adalah bersatu denganMu
Melabuhkan rindu

8
Sendiri daku bersama Cintaku
Waktu rahasia yang lebih lembut dari udara petang
Lintas dan penglihatan batin
Melimpahkan karunia atas doaku
Memahkotaiku, hingga enyahlah yang lain, sirna
Antara takjub atas keindahan dan keagunganNya
Dalam semerbak tiada tara
Aku berdiri dalam asyik-masyuk yang bisu
Ku saksikan yang datang dan pergi dalam kalbu
Lihat, dalam wajahNya
Tercampur segenap pesona dan karunia
Seluruh keindahan menyatu
Dalam wajahNya yang sempurna
Lihat Dia, yang akan berkata
“Tiada Tuhan selain Dia, dan Dialah Yang maha Mulia.”

9
Rasa riangku, rinduku, lindunganku,
Teman, penolong dan tujuanku,
Kaulah karibku, dan rindu padaMu
Meneguhkan daku
Apa bukan padaMu aku ini merindu
O, nyawa dan sahabatku
Aku remuk di rongga bumi ini
Telah banyak karunia Kau berikan
Telah banyak..
Namun tak ku butuh pahala
Pemberian ataupun pertolongan
CintaMu semata meliput
Rindu dan bahagiaku
Ia mengalir di mata kalbuku yang dahaga
Adapun di sisiMu aku telah tiada
Kau bikin dada kerontang ini meluas hijau
Kau adalah rasa riangku
Kau tegak dalam diriku
Jika akku telah memenuhiMu
O, rindu hatiku, aku pun bahagia

Read more...

Hasan Al - Banna Mutiara Yang Terdzalimi

Jumat, 23 Januari 2009

Ia dilahirkan di desa Mahmudiyah kawasan Buhairah, Mesir tahun 1906 M. Ayahnya, Syaikh Ahmad al-Banna adalah seorang ulama fiqh dan hadits. Sejak masa kecilnya, Hasan al Banna sudah menunjukkan tanda-tanda kecemerlangan otaknya. Pada usia 12 tahun, atas anugerah Allah, Hasan kecil telah menghafal separuh isi Al-Qur’an. Sang ayah terus menerus memotivasi Hasan agar melengkapi hafalannya. Semenjak itu Hasan kecil mendisiplinkan kegiatannya menjadi empat. Siang hari dipergunakannya untuk belajar di sekolah. Kemudian belajar membuat dan memperbaiki jam dengan orang tuanya hingga sore. Waktu sore hingga menjelang tidur digunakannya untuk mengulang pelajaran sekolah. Sementara membaca dan mengulang-ulang hafalan Al-Qur’an ia lakukan
selesai shalat Shubuh. Maka tak mengherankan apabila Hasan al Banna mencetak berbagai prestasi gemilang di kemudian hari. Pada usia 14 tahun Hasan al Banna telah menghafal seluruh Al-Quran. Hasan Al Banna lulus dari sekolahnya dengan predikat terbaik di sekolahnya dan nomor lima terbaik di seluruh Mesir. Pada usia 16 tahun, ia telah menjadi mahasiswa di perguruan tinggi Darul Ulum. Demikianlah sederet prestasi Hasan kecil.Selain prestasinya di bidang akademik, Ia juga memiliki bakat leadership yang cemerlang. Semenjak masa mudanya Hasan Al-Banna selalu terpilih untuk menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Bahkan pada waktu masih berada di jenjang pendidikan i’dadiyah (semacam SMP), beliau telah mampu menyelesaikan masalah secara dewasa, kisahnya begini:
Suatu siang, usai belajar di sekolah, sejumlah besar siswa berjalan melewati mushalla kampung. Hasan berada di antara mereka. Tatkala mereka berada di samping mushalla, maka adzan pun berkumandang. Saat itu, murid-murid segera menyerbu kolam air tempat berwudhu. Namun tiba-tiba saja datang sang imam dan mengusir murid-murid madrasah yang dianggap masih kanak-kanak itu. Rupanya, ia khawatir kalau-kalau mereka menghabiskan jatah air wudhu. Sebagian besar murid-murid itu berlarian menyingkir karena bentakan sang imam, sementara sebagian kecil bertahan di tempatnya. Mengalami peristiwa tersebut, al Banna lalu mengambil secarik kertas dan menulis uraian kalimat yang ditutup dengan satu ayat Al Qur’an, “Dan janganlah kamu mengusir orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan di petang hari, sedang mereka menghendaki keridhaan-Nya.”(Q. S. Al-An’aam: 52).
Kertas itu dengan penuh hormat ia berikan kepada Syaikh Muhammad Sa’id, imam mushalla yang menghardik kawan-kawannya. Membaca surat Hasan al Banna hati sang imam tersentuh, hingga pada hari selanjutnya sikapnya berubah terhadap “rombongan anak-anak kecil” tersebut. Sementara para murid pun sepakat untuk mengisi kembali kolam tempat wudhu setiap mereka selesai shalat di mushalla. Bahkan para murid itu berinisiatif untuk mengumpulkan dana untuk membeli tikar mushalla!Pada usia 21 tahun, beliau menamatkan studinya di Darul ‘Ulum dan ditunjuk menjadi guru di Isma’iliyah. Hasan Al Banna sangat prihatin dengan kelakuan Inggris yang memperbudak bangsanya. Masa itu adalah sebuah masa di mana umat Islam sedang mengalami kegoncangan hebat. Kekhalifahan Utsmaniyah (di Turki), sebagai pengayom umat Islam di seluruh dunia mengalami keruntuhan. Umat Islam mengalami kebingungan. Sementara kaum penjajah mempermainkan dunia Islam dengan seenaknya. Bahkan di Turki sendiri, Kemal Attaturk memberangus ajaran Islam di negaranya. Puluhan ulama Turki dijebloskan ke penjara. Demikianlah keadaan dunia Islam ketika al Banna berusia muda. Satu di antara penyebab kemunduran umat Islam adalah bahwa umat ini jahil (bodoh) terhadap ajaran Islam.
Maka mulailah Hasan al Banna dengan dakwahnya. Dakwah mengajak manusia kepada Allah, mengajak manusia untuk memberantas kejahiliyahan (kebodohan). Dakwah beliau dimulai dengan menggalang beberapa muridnya. Kemudian beliau berdakwah di kedai-kedai kopi. Hal ini beliau lakukan teratur dua minggu sekali. Beliau dengan perkumpulan yang didirikannya “Al-Ikhwanul Muslimun,” bekerja keras siang malam menulis pidato, mengadakan pembinaan, memimpin rapat pertemuan, dll. Dakwahnya mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam Mesir. Tercatat kaum muslimin mulai dari golongan buruh/petani, usahawan, ilmuwan, ulama, dokter mendukung dakwah beliau.
Pada masa peperangan antara Arab dan Yahudi (sekitar tahun 45-an), beliau memobilisasi mujahid-mujahid binaannya. Dari seluruh Pasukan Gabungan Arab, hanya ada satu kelompok yang sangat ditakuti Yahudi, yaitu pasukan sukarela Ikhwan. Mujahidin sukarela itu terus merangsek maju, sampai akhirnya terjadilah aib besar yang mencoreng pemerintah Mesir. Amerika Serikat, sobat kental Yahudi mengancam akan mengebom Mesir jika tidak menarik mujahidin Ikhwanul Muslimin. Maka terjadilah sebuah tragedi yang membuktikan betapa pengecutnya manusia. Ribuan mujahid Mesir ditarik ke belakang, kemudian dilucuti. Oleh siapa? Oleh pasukan pemerintah Mesir! Bahkan tidak itu saja, para mujahidin yang ikhlas ini lalu dijebloskan ke penjara-penjara militer. Bahkan beberapa waktu setelah itu Hasan al Banna, selaku pimpinan Ikhwanul Muslimin menemui syahidnya dalam sebuah peristiwa yang dirancang oleh musuh-musuh Allah.
Dakwah beliau bersifat internasional. Bahkan segera setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Hasan al Banna segera menyatakan dukungannya. Kontak dengan tokoh ulama Indonesia pun dijalin. Tercatat M. Natsir pernah berpidato didepan rapat Ikhwanul Muslimin. (catatan : M. Natsir di kemudian hari menjadi PM Indonesia ketika RIS berubah kembali menjadi negara kesatuan).Syahidnya Hasan Al-Banna tidak berarti surutnya dakwah beliau. Sudah menjadi kehendak Allah, bahwa kapan pun dan di mana pun dakwah Islam tidak akan pernah berhenti, meskipun musuh-musuh Islam sekuat tenaga berusaha memadamkannya.Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (Q. S. Ash-Shaff:
Masa-masa sepeninggal Hasan Al-Banna, adalah masa-masa penuh cobaan untuk umat Islam di Mesir. Banyak murid-murid beliau yang disiksa, dijebloskan ke penjara, bahkan dihukum mati, terutama ketika Mesir di perintah oleh Jamal Abdul Naseer, seorang diktator yang condong ke Sovyet. Banyak pula murid beliau yang terpaksa mengungsi ke luar negeri, bahkan ke Eropa. Pengungsian bagi mereka bukanlah suatu yang disesali. Bagi mereka di mana pun adalah bumi Allah, di mana pun adalah lahan dakwah. Para pengamat mensinyalir, dakwah Islam di Barat tidaklah terlepas dari jerih payah mereka. Demikianlah, siksaan, tekanan, pembunuhan tidak akan memadamkan cahaya Allah. Bahkan semuanya seakan-akan menjadi penyubur dakwah itu sendiri, sehingga dakwah Islam makin tersebar luas.
Di antara karya penerus perjuangan beliau yang terkenal adalah Fi Dzilaalil Qur’an (di bawah lindungan Al-Qur’an) karya Sayyid Quthb. Sebuah kitab tafsir Al-Qur’an yang sangat berbobot di jaman kontemporer ini. Ulama-ulama kita pun menjadikannya sebagai rujukan terjemahan Al-Qur’an dalam Bahasa Indonesia. Di antaranya adalah Al-Qu’an dan Terjemahannya keluaran Depag RI, kemudian Tafsir Al-Azhar karya seorang ulama Indonesia Buya Hamka. Mengenal sosok beliau akanlah terasa komplit apabila kita mengetahui prinsip dan keyakinan beliau.
Berikut ini adalah prinsip-prinsip yang senantiasa beliau pegang teguh dalam dakwahnya:Saya meyakini: “Sesungguhnya segala urusan bagi Allah. Nabi Muhammad SAW junjungan kita, penutup para Rasul yang diutus untuk seluruh umat manusia. Sesungguhnya hari pembalasan itu haq (akan datang). Al-Qur’an itu Kitabullah. Islam itu perundang-undangan yang lengkap untuk mengatur kehidupan dunia akhirat.”
Saya berjanji: “Akan mengarahkan diri saya sesuai dengan Al-Qur’an dan berpegang teguh dengan sunah suci. Saya akan mempelajari Sirah Nabi dan para sahabat yang mulia.”
Saya meyakini: “Sesungguhnya istiqomah, kemuliaan dan ilmu bagian dari sendi Islam.”
Saya berjanji: “Akan menjadi orang yang istiqomah yang menunaikan ibadah serta menjauhi segala kemunkaran. Menghiasi diri dengan akhlak-akhlak mulia dan meninggalkan akhlak-akhlak yang buruk. Memilih dan membiasakan diri dengan kebiasaan-kebiasaan islami semampu saya. Mengutamakan kekeluargaan dan kasih sayang dalam berhukum dan di pengadilan. Tidak akan pergi ke pengadilan kecuali jika terpaksa, akan selalu mengumandangkan syiar-syiar islam dan bahasanya. Berusaha menyebarkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk seluruh lapisan umat ini.”Saya meyakini: “Seorang muslim dituntut untuk bekerja dan mencari nafkah, di dalam hartanya yang diusahakan itu ada haq dan wajib dikeluarkan untuk orang yang membutuhkan dan orang yang tidak punya.
Saya berjanji: “Akan berusaha untuk penghidupan saya dan berhemat untuk masa depan saya. Akan menunaikan zakat harta dan menyisihkan sebagian dari usaha itu untuk kegiatan-kegiatan kebajikan. Akan menyokong semua proyek ekonomi yang islami, dan bermanfaat serta mengutamakan hasil-hasil produksi dalam negeri dan negara Islam lainnya. Tidak akan melakukan transaksi riba dalam semua urusan dan tidak melibatkan diri dalam kemewahan yang diatas kemampuan saya.”
Saya meyakini: “Seorang muslim bertanggung jawab terhadap keluarganya, diantara kewajibannya menjaga kesehatan, aqidah dan akhlak mereka.”
Saya berjanji: “Akan bekerja untuk itu dengan segala upaya. Akan menyiarkan ajaran-ajaran islam pada seluruh keluarga saya, dengan pelajaran-pelajaran islami. Tidak akan memasukkan anak-anak saya ke sekolah yang tidak dapat menjaga aqidah dan akhlak mereka. Akan menolak seluruh media massa, buletin-buletin dan buku-buku serta tidak berhubungan dengan perkumpulan-perkumpulan yang tidak berorientasi pada ajaran Islam.”
Saya meyakini: “Di antara kewajiban seorang muslim menghidupkan kembali kejayaan Islam dengan membangkitkan bangsanya dan mengembalikan syariatnya, panji-panji islam harus menjadi panutan umat manusia. Tugas seorang muslim mendidik masyarakat dunia menurut prinsip-prinsip Islam.”
Saya berjanji: “Akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan risalah ini selama hidupku dan mengorbankan segala yang saya miliki demi terlaksananya misi (risalah) tersebut.”
Saya meyakini: “Bahwa kaum muslim adalah umat yang satu, yang diikat dalam satu aqidah islam, bahwa islam yang memerintahkan pemelukya untuk berbuat baik (ihsan) kepada seluruh manusia.”
Saya berjanji: “Akan mengerahkan segenap upaya untuk menguatkan ikatan persaudaraan antara kaum muslimin dan mengikis perpecahan dan sengketa di antara golongan-golongan mereka.”
Saya meyakini: “Sesungguhnya rahasia kemunduran umat Islam, karena jauhnya mereka dari “dien” (agama) mereka, dan hal yang mendasar dari perbaikan itu adalah kembali kepada pengajaran Islam dan hukum-hukumnya, itu semua mungkin apabila setiap kaum muslimin bekerja untuk itu.”
Read more...

Ibnu Khaldun Sosiolog Islam

Selasa, 20 Januari 2009

Sebenarnya, dialah yang patut dikatakan sebagai pendiri ilmu sosial. Ia lahir dan wafat di saat bulan suci Ramadan. Nama lengkapnya adalah Waliuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi Bakar Muhammad bin al-Hasan yang kemudian masyhur dengan sebutan Ibnu Khaldun.

Pemikiran-pemikirannya yang cemerlang mampu memberikan pengaruh besar bagi cendekiawan-cendekiawan Barat dan Timur, baik Muslim maupun non-Muslim. Dalam perjalanan hidupnya, Ibnu Khaldun dipenuhi dengan berbagai peristiwa, pengembaraan, dan perubahan dengan sejumlah tugas besar serta jabatan politis, ilmiah dan peradilan. Perlawatannya antara Maghrib dan
Andalusia, kemudian antara Maghrib dan negara-negara Timur memberikan hikmah yang cukup besar. Ia adalah keturunan dari sahabat Rasulullah saw. bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah.
Lelaki yang lahir di Tunisia pada 1 Ramadan 732 H./27 Mei 1332 M. adalah dikenal sebagai sejarawan dan bapak sosiologi Islam yang hafal Alquran sejak usia dini. Sebagai ahli politik Islam, ia pun dikenal sebagai bapak Ekonomi Islam, karena pemikiran-pemikirannya tentang teori ekonomi yang logis dan realistis jauh telah dikemukakannya sebelum Adam Smith (1723-1790) dan David Ricardo (1772-1823) mengemukakan teori-teori ekonominya. Bahkan ketika memasuki usia remaja, tulisan-tulisannya sudah menyebar ke mana-mana. Tulisan-tulisan dan pemikiran Ibnu Khaldun terlahir karena studinya yang sangat dalam, pengamatan terhadap berbagai masyarakat yang dikenalnya dengan ilmu dan pengetahuan yang luas, serta ia hidup di tengah-tengah mereka dalam pengembaraannya yang luas pula.

Selain itu dalam tugas-tugas yang diembannya penuh dengan berbagai peristiwa, baik suka dan duka. Ia pun pernah menduduki jabatan penting di Fes,
Granada, dan Afrika Utara serta pernah menjadi guru besar di Universitas al-Azhar, Kairo yang dibangun oleh dinasti Fathimiyyah. Dari sinilah ia melahirkan karya-karya yang monumental hingga saat ini. Nama dan karyanya harum dan dikenal di berbagai penjuru dunia. Panjang sekali jika kita berbicara tentang biografi Ibnu Khaldun, namun ada tiga periode yang bisa kita ingat kembali dalam perjalan hidup beliau. Periode pertama, masa dimana Ibnu Khaldun menuntut berbagai bidang ilmu pengetahuan. Yakni, ia belajar Alquran, tafsir, hadis, usul fikih, tauhid, fikih madzhab Maliki, ilmu nahwu dan sharaf, ilmu balaghah, fisika dan matematika.

Dalam semua bidang studinya mendapatkan nilai yang sangat memuaskan dari para gurunya. Namun studinya terhenti karena penyakit pes telah melanda selatan Afrika pada tahun 749 H. yang merenggut ribuan nyawa. Ayahnya dan sebagian besar gurunya meninggal dunia. Ia pun berhijrah ke Maroko selanjutnya ke Mesir; Periode kedua, ia terjun dalam dunia politik dan sempat menjabat berbagai posisi penting kenegaraan seperti qadhi al-qudhat (Hakim Tertinggi). Namun, akibat fitnah dari lawan-lawan politiknya, Ibnu Khaldun sempat juga dijebloskan ke dalam penjara.

SETELAH keluar dari penjara, dimulailah periode ketiga kehidupan Ibnu Khaldun, yaitu berkonsentrasi pada bidang penelitian dan penulisan, ia pun melengkapi dan merevisi catatan-catatannya yang telah lama dibuatnya. Seperti kitab al-’ibar (tujuh jilid) yang telah ia revisi dan ditambahnya bab-bab baru di dalamnya, nama kitab ini pun menjadi Kitab al-’Ibar wa Diwanul Mubtada’ awil Khabar fi Ayyamil ‘Arab wal ‘Ajam wal Barbar wa Man ‘Asharahum min Dzawis Sulthan al-Akbar.

Kitab al-i’bar ini pernah diterjemahkan dan diterbitkan oleh De Slane pada tahun 1863, dengan judul Les Prolegomenes d’Ibn Khaldoun. Namun pengaruhnya baru terlihat setelah 27 tahun kemudian. Tepatnya pada tahun 1890, yakni saat pendapat-pendapat Ibnu Khaldun dikaji dan diadaptasi oleh sosiolog-sosiolog German dan
Austria yang memberikan pencerahan bagi para sosiolog modern.

Karya-karya lain Ibnu Khaldun yang bernilai sangat tinggi diantaranya, at-Ta’riif bi Ibn Khaldun (sebuah kitab autobiografi, catatan dari kitab sejarahnya); Muqaddimah (pendahuluan atas kitabu al-’ibar yang bercorak sosiologis-historis, dan filosofis); Lubab al-Muhassal fi Ushul ad-Diin (sebuah kitab tentang permasalahan dan pendapat-pendapat teologi, yang merupakan ringkasan dari kitab Muhassal Afkaar al-Mutaqaddimiin wa al-Muta’akh-khiriin karya Imam Fakhruddin ar-Razi).

DR. Bryan S. Turner, guru besar sosiologi di Universitas of
Aberdeen, Scotland dalam artikelnya “The Islamic Review & Arabic Affairs” di tahun 1970-an mengomentari tentang karya-karya Ibnu Khaldun. Ia menyatakan, “Tulisan-tulisan sosial dan sejarah dari Ibnu Khaldun hanya satu-satunya dari tradisi intelektual yang diterima dan diakui di dunia Barat, terutama ahli-ahli sosiologi dalam bahasa Inggris (yang menulis karya-karyanya dalam bahasa Inggris).” Salah satu tulisan yang sangat menonjol dan populer adalah muqaddimah (pendahuluan) yang merupakan buku terpenting tentang ilmu sosial dan masih terus dikaji hingga saat ini.

Bahkan buku ini telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Di sini Ibnu Khaldun menganalisis apa yang disebut dengan ‘gejala-gejala sosial’ dengan metoda-metodanya yang masuk akal yang dapat kita lihat bahwa ia menguasai dan memahami akan gejala-gejala sosial tersebut. Pada bab ke dua dan ke tiga, ia berbicara tentang gejala-gejala yang membedakan antara masyarakat primitif dengan masyarakat moderen dan bagaimana sistem pemerintahan dan urusan politik di masyarakat.

Bab ke dua dan ke empat berbicara tentang gejala-gejala yang berkaitan dengan cara berkumpulnya manusia serta menerangkan pengaruh faktor-faktor dan lingkungan geografis terhadap gejala-gejala ini. Bab ke empat dan ke
lima, menerangkan tentang ekonomi dalam individu, bermasyarakat maupun negara. Sedangkan bab ke enam berbicara tentang paedagogik, ilmu dan pengetahuan serta alat-alatnya. Sungguh mengagumkan sekali sebuah karya di abad ke-14 dengan lengkap menerangkan hal ihwal sosiologi, sejarah, ekonomi, ilmu dan pengetahuan. Ia telah menjelaskan terbentuk dan lenyapnya negara-negara dengan teori sejarah.

Ibnu Khaldun sangat meyakini sekali, bahwa pada dasarnya negera-negara berdiri bergantung pada generasi pertama (pendiri negara) yang memiliki tekad dan kekuatan untuk mendirikan negara. Lalu, disusul oleh generasi ke dua yang menikmati kestabilan dan kemakmuran yang ditinggalkan generasi pertama. Kemudian, akan datang generasi ke tiga yang tumbuh menuju ketenangan, kesenangan, dan terbujuk oleh materi sehingga sedikit demi sedikit bangunan-bangunan spiritual melemah dan negara itu pun hancur, baik akibat kelemahan internal maupun karena serangan musuh-musuh yang kuat dari luar yang selalu mengawasi kelemahannya.

ADA beberapa catatan penting dari sini yang dapat kita ambil bahan pelajaran. Bahwa Ibnu Khaldun menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan tidak meremehkan akan sebuah sejarah. Ia adalah seorang peneliti yang tak kenal lelah dengan dasar ilmu dan pengetahuan yang luas. Ia selalu memperhatikan akan komunitas-komunitas masyarakat. Selain seorang pejabat penting, ia pun seorang penulis yang produktif. Ia menghargai akan tulisan-tulisannya yang telah ia buat. Bahkan ketidaksempurnaan dalam tulisannya ia lengkapi dan perbaharui dengan memerlukan waktu dan kesabaran. Sehingga karyanya benar-benar berkualitas, yang di adaptasi oleh situasi dan kondisi.

Karena pemikiran-pemikirannya yang briliyan Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dan politik Islam. Dasar pendidikan Alquran yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim dan hafidz Alquran, ia menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran. Sebagaimana dikatakan olehnya, “Ketahuilah bahwa pendidikan Alquran termasuk syiar agama yang diterima oleh umat Islam di seluruh dunia Islam. Oleh kerena itu pendidikan Alquran dapat meresap ke dalam hati dan memperkuat iman. Dan pengajaran Alquran pun patut diutamakan sebelum mengembangkan ilmu-ilmu yang lain.”

Jadi, nilai-nilai spiritual sangat di utamakan sekali dalam kajiannya, disamping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spritual. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kunci keberhasilan
Ibnu Khaldun, ia wafat di Kairo Mesir pada saat bulan suci Ramadan tepatnya pada tanggal 25 Ramadan 808 H./19 Maret 1406 M.***
Read more...

David Émile Durkheim yang katanya pencetus sosiolog modern

Rabu, 14 Januari 2009

Durkheim dilahirkan di Épinal, Prancis, yang terletak di Lorraine. Ia berasal dari keluarga Yahudi Prancis yang saleh - ayah dan kakeknya adalah Rabi. Hidup Durkheim sendiri sama sekali sekular. Malah kebanyakan dari karyanya dimaksudkan untuk membuktikan bahwa fenomena keagamaan berasal dari faktor-faktor sosial dan bukan ilahi. Namun demikian, latar belakang Yahudinya membentuk sosiologinya - banyak mahasiswa dan rekan kerjanya adalah sesama Yahudi, dan seringkali masih berhubungan darah dengannya.

Durkheim adalah mahasiswa yang cepat matang. Ia masuk ke École Normale Supérieure pada 1879. Angkatannya adalah salah satu yang paling cemerlang pada abad ke-19 dan banyak teman sekelasnya, seperti Jean Jaurès dan Henri Bergson kemudian menjadi tokoh besar dalam
kehidupan intelektual Prancis. Di ENS Durkheim belajar di bawah Fustel de Coulanges, seorang pakar ilmu klasik, yang berpandangan ilmiah sosial. Pada saat yang sama, ia membaca karya-karya Auguste Comte dan Herbert Spencer. Jadi, Durkheim tertarik dengan pendekatan ilmiah terhadap masyarakat sejak awal kariernya. Ini adalah konflik pertama dari banyak konflik lainnya dengan sistem akademik Prancis, yang tidak mempunyai kurikulum ilmu sosial pada saat itu. Durkheim merasa ilmu-ilmu kemanusiaan tidak menarik. Ia lulus dengan peringkat kedua terakhir dalam angkatannya ketika ia menempuh ujian agrégation – syarat untuk posisi mengajar dalam pengajaran umum – dalam ilmu filsafat pada 1882.

Minat Durkheim dalam fenomena sosial juga didorong oleh politik. Kekalahan Prancis dalam Perang Prancis-Prusia telah memberikan pukulan terhadap pemerintahan republikan yang sekular. Banyak orang menganggap pendekatan Katolik, dan sangat nasionalistik sebagai jalan satu-satunya untuk menghidupkan kembali kekuasaan Prancis yang memudar di daratan Eropa. Durkheim, seorang Yahudi dan sosialis, berada dalam posisi minoritas secara politik, suatu situasi yang membakarnya secara politik. Peristiwa Dreyfus pada 1894 hanya memperkuat sikapnya sebagai seorang aktivis.

Seseorang yang berpandangan seperti Durkheim tidak mungkin memperoleh pengangkatan akademik yang penting di Paris, dan karena itu setelah belajar sosiologi selama setahun di Jerman, ia pergi ke Bordeaux pada 1887, yang saat itu baru saja membuka pusat pendidikan guru yang pertama di Prancis. Di sana ia mengajar pedagogi dan ilmu-ilmu sosial (suatu posisi baru di Prancis). Dari posisi ini Durkheim memperbarui sistem sekolah Prancis dan memperkenalkan studi ilmu-ilmu sosial dalam kurikulumnya. Kembali, kecenderungannya untuk mereduksi moralitas dan agama ke dalam fakta sosial semata-mata membuat ia banyak dikritik.

Tahun 1890-an adalah masa kreatif Durkheim. Pada 1893 ia menerbitkan “Pembagian Kerja dalam Masyarakat”, pernyataan dasariahnya tentang hakikat masyarakat manusia dan perkembangannya. Pada 1895 ia menerbitkan “Aturan-aturan Metode Sosiologis”, sebuah manifesto yang menyatakan apakah sosiologi itu dan bagaimana ia harus dilakukan. Ia pun mendirikan Jurusan Sosiologi pertama di Eropa di Universitas Bourdeaux. Pada 1896 ia menerbitkan jurnal L'Année Sociologique untuk menerbitkan dan mempublikasikan tulisan-tulisan dari kelompok yang kian bertambah dari mahasiswa dan rekan (ini adalah sebutan yang digunakan untuk kelompok mahasiswa yang mengembangkan program sosiologinya). Dan akhirnya, pada 1897, ia menerbitkan “Bunuh Diri”, sebuah studi kasus yang memberikan contoh tentang bagaimana bentuk sebuah monograf sosiologi.

Pada 1902 Durkheim akhirnya mencapai tujuannya untuk memperoleh kedudukan terhormat di Paris ketika ia menjadi profesor di Sorbonne. Karena universitas-universitas Prancis secara teknis adalah lembaga-lembaga untuk mendidik guru-guru untuk sekolah menengah, posisi ini memberikan Durkheim pengaruh yang cukup besar – kuliah-kuliahnya wajib diambil oleh seluruh mahasiswa. Apapun pendapat orang, pada masa setelah Peristiwa Dreyfus, untuk mendapatkan pengangkatan politik, Durkheim memperkuat kekuasaan kelembagaannya pada 1912 ketika ia secara permanen diberikan kursi dan mengubah namanya menjadi kursi pendidikan dan sosiologi. Pada tahun itu pula ia menerbitkan karya besarnya yang terakhir “Bentuk-bentuk Elementer dari Kehidupan Keagamaan”.

Perang Dunia I mengakibatkan pengaruh yang tragis terhadap hidup Durkheim. Pandangan kiri Durkheim selalu patriotik dan bukan internasionalis – ia mengusahakan bentuk kehidupan Prancis yang sekular, rasional. Tetapi datangnya perang dan propaganda nasionalis yang tidak terhindari yang muncul sesudah itu membuatnya sulit untuk mempertahankan posisinya. Sementara Durkheim giat mendukung negarainya dalam perang, rasa enggannya untuk tunduk kepada semangat nasionalis yang sederhana (ditambah dengan latar belakang Yahudinya) membuat ia sasaran yang wajar dari golongan kanan Prancis yang kini berkembang. Yang lebih parah lagi, generasi mahasiswa yang telah dididik Durkheim kini dikenai wajib militer, dan banyak dari mereka yang tewas ketika Prancis bertahan mati-matian. Akhirnya, René, anak laki-laki Durkheim sendiri tewas dalam perang – sebuah pukulan mental yang tidak pernah teratasi oleh Durkheim. Selain sangat terpukul emosinya, Durkheim juga terlalu lelah bekerja, sehingga akhirnya ia terkena serangan lumpuh dan meninggal pada 1917.
Read more...

Sayyid Qutb, Tokoh Intelektual Sejati

Kamis, 08 Januari 2009

Tokoh Kita kali ini seorang ilmuwan, sastrawan sekaligus pemikir dari Mesir. Sayyid Qutb namanya. Ia lahir di daerah Asyut, Mesir tahun 1906, di sebuah desa dengan tradisi agama yang kental. Dengan tradisi yang seperti itu, maka tak heran jika Qutb kecil menjadi seorang anak yang pandai dalam ilmu agama. Tak hanya itu, saat usianya masih belia, ia sudah hafal Qur'an. Bakat dan kepandaian menyerap ilmu yang besar itu tak disia-siakan terutama oleh kedua orang tua Qutb. Berbekal persedian dan harta yang sangat terbatas, karena memang ia terlahir dalam keluarga sederhana, Qutb di kirim ke Halwan. Sebuah daerah pinggiran ibukota Mesir, Cairo.

Kesempatan yang diperolehnya untuk lebih berkembang di luar kota asal tak disia-siakan oleh Qutb. Se
mangat dan kemampuan belajar yang tinggi ia tunjukkan pada kedua orang tuanya. Sebagai buktinya, ia berhasil masuk pada perguruan tinggi Tajhisziyah Dar al Ulum, sekarang Universitas Cairo. Kala itu, tak sembarang orang bisa meraih pendidikan tinggi di tanah Mesir, dan Qutb beruntung menjadi salah satunya. Tentunya dengan kerja keras dan belajar. Tahun 1933, Qutb mendapat menyabet gelar Sarjana Pendidikan.

Tak lama setelah itu ia diterima bekerja sebagai pengawas pendidikan di Departemen Pendidikan Mesir. Selama bekerja, Qutb menunjukkan kualitas dan hasil yang luar biasa, sehingga ia dikirim ke Amerika untuk menuntut ilmu lebih tinggi dari sebelumnya.Qutb memanfaatkan betul waktunya ketika berada di Amerika, tak tanggung-tanggung ia menuntut ilmu di tiga perguruan tinggi di negeri Paman Sam itu. Wilson's Teacher's College, di Washington ia jelajahi, Greeley College di Colorado ia timba ilmunya, juga Stanford University di California tak ketinggalan diselami pula.

Seperti keranjingan ilmu, tak puas dengan yang ditemuinya ia berkelana ke berbagai negara di Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya. Tapi itupun tak menyiram dahaganya. Studi di banyak tempat yang dilakukannya memberi satu kesimpulan pada Sayyid Qutb. Hukum dan ilmu Allah saja muaranya. Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama.

Alhasil, setelah lama mengembara, Sayyid Qutb kembali lagi ke asalnya. Bak pepatah, sejauh-jauh bangau terbang, pasti akan pulang ke kandang. Ia merasa, bahwa Qur'an sudah sejak lama mampu menjawab semua pertanyaan yang ada. Ia kembali ke Mesir dan bergabung dengan kelompok pergerakan Ihkawanul Muslimin. Di sanalah Sayyid Qutb benar-benar mengaktualisasikan dirinya. Dengan kapasitas dan ilmunya, tak lama namanya meroket dalam pergerakan itu. Tapi pada tahun 1951, pemerintahan Mesir mengeluarkan larangan dan pembubaran Ikhwanul Muslimin.

Saat itu Sayyid Qutb menjabat sebagai anggota panitia pelaksana program dan ketua lembaga dakwah. Selain dikenal sebagai tokoh pergerakan , Qutb juga dikenal sebagai seorang penulis dan kritikus sastra. Kalau di Indonesia semacam H.B. Jassin lah. Banyak karyanya yang telah dibukukan. Ia menulis tentang banyak hal, mulai dari sastra, politik sampai keagamaan. Empat tahun kemudian, tepatnya Juli 1954, Sayyid menjabat sebagai pemimpin redaksi harian Ikhwanul Muslimin. Tapi harian tersebut tak berumur lama, hanya dua bulan, karena dilarang beredar oleh pemerintah.

Tak lain dan tak bukan sebabnya adalah sikap keras, pemimpin redaksi, Sayyid Qutb yang mengkritik keras Presiden Mesir kala itu, Kolonel Gamal Abdel Naseer. Saat itu Sayyid Qutb mengkritik perjanjian yang disepakati antara pemerintahan Mesir dan negara Inggris. Tepatnya 7 Juli 1954. Sejak saat itu, kekejaman penguasa bertubi-tubi diterimanya. Setelah melalui proses yang panjang dan rekayasa, Mei 1955, Sayyid Qutb ditahan dan dipenjara dengan alasan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah. Tiga bulan kemudian, hukuman yang lebih berat diterimanya, yakni harus bekerja paksa di kamp-kamp penampungan selama 15 tahun lamanya. Berpindah-pindah penjara, begitulah yang diterima Sayyid Qutb dari pemerintahnya kala itu.

Hal itu terus di alaminya sampai pertengahan 1964, saat presiden Irak kala itu melawat ke Mesir. Abdul Salam Arief, sang presiden Irak, memminta pada pemerintahan Mesir untuk membebaskan Sayyid Qutb tanpa tuntutan. Tapi ternyata kehidupan bebas tanpa dinding pembatas tak lama dinikmatinya. Setahun kemudian, pemerintah kembali menahannya tanpa alasan yang jelas. Kali ini justru lebih pedih lagi, Sayyid Qutb tak hanya sendiri. Tiga saudaranya dipaksa ikut serta dalam penahanan ini. Muhammad Qutb, Hamidah dan Aminah, serta 20.000 rakyat Mesir lainnya.

Alasannya seperti semua, menuduh Ikhwanul Muslimin membuat gerakan yang berusaha menggulingkan dan membunuh Presiden Naseer. Ternyata, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada. Hukuman yang diterima kali ini pun lebih berat dari semua hukuman yang pernah diterima Sayyid Qutb sebelumnya. Ia dan dua orang kawan seperjuangannya dijatuhi hukuman mati.

Meski berbagai kalangan dari dunia internasional telah mengecam Mesir atas hukuman tersebut, Mesir tetap saja bersikukuh seperti batu. Tepat pada tanggal 29 Agustus 1969, ia syahid di depan algojo-algojo pembunuhnya. Sebelum ia menghadapi ekskusinya dengan gagah berani, Sayyid Qutb sempat menuliskan corat-coret sederhana, tentang pertanyaan dan pembelaannya. Kini corat-coret itu telah menjadi buku berjudul, "MENGAPA SAYA DIHUKUM MATI."

Sebuah pertanyaan yang tak pernah bisa dijawab oleh pemerintahan Mesir kala itu. Semoga Allah memberikan tempat yang mulia di sisi-Nya.
Amin.

HIKAM:
Studi di banyak tempat yang dilakukannya, seperti Wilson's Teacher's College, di Washington, Greeley College di Colorado, Stanford University di California, Eropa. Itali, Inggris dan Swiss dan berbagai negara lain dikunjunginya, tapi itu tak menyiram dahaganya. Akhirnya satu kesimpulan yang diperolehnya: HUKUM DAN ILMU ALLAH SAJA MUARANYA.Selama ia mengembara, banyak problem yang ditemuinya di beberapa negara. Secara garis besar Sayyid Qutb menarik kesimpulan, bahwa problem yang ada ditimbulkan oleh dunia yang semakin matre dan jauh dari nilai-nilai agama. Tanggal 29 Agustus 1969, beliau syahid. Memang, berjuang dan menjadi orang baik butuh pengorbanan. Tak semua niat baik dapat diterima dengan lapang dada.

Sumber: Milis

Read more...

Lunturnya Idealisme Mahasiswa

DUNIA mahasiswa adalah dunia idealis dan dunia imajinasi kreatif yang mencoba membuat tataran sosial politik yang ideal. Mahasiswa adalah bagian dari masyarakat yang mempunyai akses lebih terhadap pendidikan dan menjadi kelompok elit dari suatu masyarakat.

Dengan elitisme dan pendidikan mahasiswa menjadi harapan bagi masyarakat untuk dapat mengadvokasi dan memberi perubahan terhadap kehidupan. Maka tak jarang sebutan agent of change selalu disematkan di pundak para mahasiswa.
Idealisme mahasiswa seringkali luntur ketika harus berhadapan dengan realitas yang ada, termasuk dalam hal korupsi. Begitu banyak mahasiswa yang berdemo dengan mengecam dan memaki para koruptor dengan suara yang berapi-api. Seakan-akan mereka menjadi seorang algojo yang siap mengeksekusi para koruptor yang kenyang dengan uang.

Namun praktik korupsi di dunia mahasiswa sendiri sudah tidak bisa dimungkiri. Mulai dari hal kecil seperti menyontek, titip absen hingga penggelapan uang mahasiswa baru. Menyontek dan titip absen merupakan hal yang fundamental dari praktik korupsi karena pada intinya korupsi adalah bohong dan merugikan orang lain. Dengan menyontek atau titip absen berarti kita telah berbohong kepada dosen, teman, dan merugikan orang lain.

Ketika musim penerimaan mahasiswa baru, dengan dalih mengadakan Malam Keakraban atau sejenisnya, mahasiswa baru ditarik iuran untuk membiayai acara tersebut. Iuran yang terkumpul justru dimanfaatkan oleh mahasiswa senior.

Kasus-kasus korupsi di kalangan mahasiswa merupakan bukti bahwa status mahasiswa sebagai agent of change mulai luntur. Oleh karena itu, marilah kita sebagai mahasiswa selalu menjaga idealisme dan konsisten terhadap perlawanan terhadap ketidakadilan. Perlawanan itu harus kita mulai dari diri kita sendiri. Mulai dari lingkungan kampus, mahasiswa, dosen dan karyawan. (78)

Read more...

Bersatu Melawan Israel

Sabtu, 03 Januari 2009

“Umat Islam harus bersatu melawan Israel, Dunia harus bersatu. Hamas dan Fatah harus bersatu melawan Israel. Jika tidak bersatu tidak akan pernah menang.” Ujar Tifatul.

Jakarta memutih. Sesuai janji Presiden PKS di depan kedubes AS pada hari rabu lalu, PKS mengerahkan massa lebih besar hari ini (2/01/09). Sekitar dua ratus ribu kader dan simpatisan PKS menyemut menuju Bunderan HI sejak Jumat pagi.

Aksi ini adalah sebagai bentuk dukungan kepada rakyat Palestina yang hingga hari ini, belum terlihat adanya petanda dari Israel untuk mengakhiri serangan brutalnya ke Jalur Gaza. Bahkan aksi mereka semakin menjadi. Masjid dan rumah sakit pun tidak luput dari serangan bom Israel.

“Kita bisa melihat bahwa status Israel atas palestina adalah penjajahan yang sangat mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Jelas sudah bahwa Israel adalah teroris sesungguhnya. Mereka mencaplok tanah palestina dan membunuh orang seenaknya. Kita teringat pada ulama Palestina Syaikh Ahmad Yasin yang dibunuh saat pulang sholat subuh. Dulu beliau ditembak dengan senjata helikopter apache. Dan ketika itu, dunia tetap bungkam melihat kekejaman Israel.” Papar Presiden PKS, Tifatul Sembiring.

Tifatul juga menggambarkan bagaimana Israel telah memecah belah rakyat Palestina. Mengadu domba antara Hamas dengan Fatah. Israel juga tidak malu dan ragu sedikitpun memblokade Gaza bertahun tahun, menyetop aliran listrik, air, dan bahan bakar. Lebih dari itu, Israel bahkan menutup arus bantuan kemanusiaan dan pintu perbatasan serta mengurung Gaza dari dunia luar dengan tembok pemisah. Tetapi pejuang palestina tidak mau menyerah. Israel frustasi dan menjatuhkan bom ke Gaza. 390 orang meninggal dan 1400 orang terluka (sumber Aljazeera)

“Umat Islam harus bersatu melawan Israel, Dunia harus bersatu. Hamas dan Fatah harus bersatu melawan Israel. Jika tidak bersatu tidak akan pernah menang.” Ujar Tifatul.

Tifatul juga mempertanyakan sikap presiden AS, “Bush, apa alasanmu mendukung Israel atas pembantaian penduduk sipil?”. Kepada presiden terpilih AS, Barack Hussein Obama, Tifatul menyeru agar Obama berani mengubah sikap Amerika dengan tidak lagi mendukung Israel.

Selain melakukan aksi demonstrasi sebagai bentuk solidaritas dan dukungan, massa PKS juga melakukan penggalangan dana untuk bantuan atas rakyat Pelestina. PKS kembali menggalang program one men one dollar for Palestine. Bagi pengendara bermotor yang akan melintas jalan Thamrin dan hendak berkontribusi mendukung rakyat palestina dengan bantuan dana, PKS menyediakan kotak sumbangan. Seluruh bantuan dan yang terkumpul akan disalurkan melalui Komite Nasional untuk Rakyat Palestina (KNRP)

Bagi masyarakat yang hendak mengirimkan bantuan melalui bank, dapat mengirimkan pada rekening KNRP di BCA BCA Jatinegara Barat. No Rek. 7600325099 a.n. Komnas untuk Rakyat Palestina.

Read more...

Tantangan Kepemimpinan Muda

Wacana kepemimpinan oleh kaum muda terus berembus kencang. "Saatnya kaum
muda memimpin" bergerak menjadi narasi besar pada tahun ini. Gaungnya makin
membumi tatkala Pemilu 2009 makin di depan mata. Kepemimpinan kaum muda
menjadi sesuatu yang dirindukan kehadirannya. Lahir dari keresahan akan
hegemoni kaum tua dalam lingkaran kepemimpinan nasional.

Hasrat itu kian menguat manakala menyaksikan kegagalan kaum tua dalam menata
dan memberdayakan bangsa ini

Kaum tua dianggap telah membawa bangsa ini
menuju jurang kehancuran yang kian dalam. Kepemimpinan kaum muda pun
disodorkan sebagai solusi karena kaum muda dianggap memiliki kompetensi,
integritas, kapabilitas, kreativitas, progresivitas, dan idealisme.
Keterbebasan kaum muda dari dosa masa lalu melahirkan harapan adanya
komitmen moral untuk membangun bangsa ini secara lebih baik.

Kaum Muda di Pentas Dunia

Sebelum 'demam Obama' melanda dunia, kita sudah disuguhkan para pemimpin
baru di pentas politik dunia yang memimpin negaranya sebelum mencapai usia
50 tahun. Dari Amerika Latin muncul Evo Morales, Presiden Bolivia yang
berusia 49 tahun. Mahmoud Ahmadinejad terpilih menjadi Presiden Iran pada
usia 49 tahun. Barack H. Obama yang sempat sekolah di sebuah sekolah dasar
negeri di Menteng, Jakarta Pusat, kini dalam usianya yang ke 47 tahun,
menjadi calon kuat presiden Amerika Serikat. Mereka bukan sekedar mengisi
sejarah kepemimpinan negaranya, tetapi menjadi idola baru, simbol perlawanan
dan juga harapan bangsanya.

Kendala Kaum Muda

Namun kepemimpinan kaum muda tentu saja bukan sesuatu yang mudah diraih.
Terlebih sistem rekruitmen politik dan kepemimpinan nasional saat ini tidak
cukup leluasa memberi ruang bagi kaum muda. Kaum muda Indonesia harus mampu
menjawab tantangannya sendiri. Terdapat sejumlah kendala yang bisa
menghadang kaum muda untuk tampil dan berperan dalam pentas politik Tanah
Air. Pertama faktor pengalaman. Umumnya kaum muda bisa dibilang miskin
pengalaman dalam "memikat" hati rakyat. Seseorang bisa tampil di panggung
utama politik jika dipilih oleh rakyat. Oleh karena itu kemampuan "memikat"
hati rakyat menjadi sangat penting.

Statistik hasil pemilihan kepala daerah membuktikan kaum tua masih cukup
dominan memenangi pilkada. Masyarakat belum yakin dengan kepemimpinan kaum
muda karena belum cukup informasi dan bukti tentang kemampuan kaum muda.

Kedua, faktor "perlawanan" kaum tua yang masih memegang kuat hasrat
kekuasaan mereka. Sudah pasti ini akan menghambat laju kaum muda menuju
pentas utama politik baik di pusat maupun daerah. Ini dibuktikan dengan
sering tenggelamnya isu kepemimpinan kaum muda dengan dalih tidak ada
ketentuan perundangan soal usia pemimpin. Isu pemimpin muda juga sering
ditekan dengan alasan kaum muda belum terbukti berhasil dalam kepemimpinan.
Dari sudut sistem politik, sinyalemen itu bisa dibuktikan dengan membedah
sistem dan mekanisme partai politik yang dirancang sedemikian sehingga sulit
bagi kaum muda untuk menggeser posisi kaum tua.

Faktor ketiga adalah tantangan "mengendalikan" birokrasi manakala kaum muda
sudah berhasil menggenggam kekuasaan. Kita bisa belajar dari kepemimpinan
Ahmad Heryawan-Dede Yusuf (Hade) di Jawa Barat. Dibutuhkan waktu lebih dari
100 hari pemerintahan mereka untuk melakukan reformasi birokrasi. Ini tak
lepas dari fakta bahwa lebih dari 90 persen level kepemimpinan di birokrasi
adalah kaum tua yang banyak terkait persoalan masa lalu.

Gagasan Perubahan

Namun demikian meski menghadapi aneka tantangan di atas, kaum muda harus
terus maju karena bangsa ini membutuhkan pemimpin baru yang memiliki
semangat, idealisme, integritas, dan terutama komitmen moral untuk membangun
bangsa. Kaum muda harus aktif memberi pencerahan politik sehingga masyarakat
terlibat dalam arus revolusi kepemimpinan di bilik-bilik suara.

Sebagai langkah awal kaum muda harus memberi bukti kepada rakyat bahwa kaum
muda membawa perubahan bangsa. Kita dapat belajar dari Barack Obama yang
mampu memikat hati masyarakat AS, bahkan masyarakat dunia melalui
penyampaian visi dan gagasan pembangunannya.

Jadi, kaum muda harus mulai membangun citra, menunjukkan potensi diri,
berupaya meraih simpati rakyat, sehingga rakyat memilihnya sebagai wakil
rakyat dan pemimpin.

Kaum muda juga perlu menggalang kekuatan dan solidaritas di antara sesama
pemuda untuk membenahi rekruitmen politik. Saat ini solidaritas di kalangan
aktivis pemuda masih terbelah dalam isu dan kepentingan sektoral. Kaum muda
belum satu kata dalam menggalang visi kepemimpinan kaum muda di Indonesia.
Di tengah itu semua, ada juga kabar menggembirakan dengan masuknya para
aktivis muda ke ruang publik melalui partai politik. Boleh jadi ini jalan
pintas untuk menampilkan kepemimpinan kaum muda. Namun ke depan masalah
rekruitmen politik harus menjadi agenda besar kaum muda. Rekrutmen politik
menjadi sangat penting karena merupakan indikator yang sensitif dalam
melihat nilai-nilai dan distribusi pengaruh politik dalam sebuah masyarakat
politik. Memperbaiki rekrutmen politik berarti memuluskan jalan kaum muda
menuju pentas politik nasional. Kini saatnya bagi kaum muda untuk
merealisasikan gagasan perubahan menuju Indonesia yang lebih baik.

Read more...

Menjadi Mahasiswa Sebenarnya

Oleh : Yuniar K

Mahasiswa, menurut kamus besar bahasa Indonesia berarti siswa atau siswi yang belajar di perguruan tinggi. Belajar di sini memiliki beragam arti, dapat diartikan kuliah, berorganisasi, berinteraksi, dan sebagainya. Mahasiswa adalah pemuda yang dapat merubah dunia dengan segala semangat dan tekadnya begitulah kiranya Ir. Soekarno berkata. Maha berarti tinggi dan siswa berarti orang terpelajar, sehingga tidak salah kalau masyarakat berharap banyak akan kontribusinya kepada negara dan warganya.

Masih terekam dalam ingatan kita bagaimana spirit and power mahasiswa era

98 menggulingkan pemerintah diktator “orde baru” yang selama 32 tahun berkuasa berhasil dihancurkan oleh spirit and power dari mahasiswa tersebut. Sehingga demokrasi yang kita enyam saat ini tidak lepas dari jasa – jasa para mahasiswa. Namun sekarang ini, mahasiswa yang katanya merupakan kaum intelektual yang mempunyai pemikiran kritis, analisa tajam, serta dieluka-elukan untuk meneruskan perjuangan itu, seakan-akan kehilangan rohnya.

Hilangnnya semangat dan tekad perjuangan menyebabkan lumpuhnya pergerakan mahasiswa sekarang ini. Idealisme-idealisme mahasiswa yang dulu pernah menjadi icon pergerakan kini menjadi isapan jempol belaka yang nihil implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Seakan – akan ideologi pergerakan mahasiswa saat ini hanya menjadi bumbu pemanis saja bagi jalannya pergerakan mahasiswa dikampus. Kampus yang dianggap sebagai pusat peradaban kaum intelektual pun yang penuh dengan suasana keilmiahan mahasiswa seakan mulai memudar dari kehidupan mahasiswa saat ini. Dan hanya beberapa saja yang bertahan.

Kampus yang saya amati sekarang ini adalah kampus yang cenderung berbudaya hedonisme.Budaya yang jauh dari ilmiah dan kesederhanaan. Budaya yang jauh dari konsekwensi – konsekwensi ideologis yang dipegang . Walaupun tidak semuanya begitu. Kita bisa melihat kampus sekarang ini tidak ubahnya seperti ajang fashion show bagi mahasiswanya. Mereka berlomba-lomba untuk memamerkan busana yang paling up to date, yang paling ngetrend, dandanan yang funky, atau dandanan yang mereka sebut gaul. Lebih parah lagi di diskotik – diskotik yang berada di kota- kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Jogjakarta bahkan Semarang pun para pengunjung yang memadatinya adalah mahasiswa. Sehingga tak jarang mahasiswa dijadikan objek oleh pengusaha diskotik dengan program ladies night, adholic atau program sejenisnya. Selain itu Mahasiswa yang disebut sebagai directur of change sekarang telah mengalami krisismoralitas. Hal yang paling sederhana misalnya kebiasaan titip absen dalam perkuliahan. Kelihatannya hal ini sepele, namun dampaknya luar biasa. Berawal dari kebiasaan ini nantinya akan berubah menjadi suatu kebutuhan. Kebiasaan negative seperti itu, akan terbawa hingga ketika mahasiswa menjadi “orang”. Bukan titip absent lagi tentunya, tetapi titip saudara atau temannya untuk bisa diterima oleh suatu instansi. Dengan demikian berarti mahasiswa telah terjerembab dalam kubangan KKN.

Selain itu, Mahasiswa sekarang adalah mahasiswa yang lebih tertarik untuk mendiskusikan tentang hal-hal remeh seperti gosip terhangat, artis favorit, film terbaru dibandingkan berdiskusi mengenai mata kuliah, isu-isu politik, permasalahan bangsa dan hal lain yang sifatnya ilmiah dan menuju arah kemajuan bangsa. Sedikit mahasiswa yang berminat untuk mengikuti LKTM (Lomba Karya Tulis Ilmiah) atau Diskusi kebangsaan dan seminar. Mereka lebih suka menonton konser musik daripada mengikuti seminar. Bahkan mereka rela meninggalkan kuliah demi untuk nonton grup band kesayangannya manggung. Jika demikian, masih banggakah kita disebut mahasiswa?

Sudah saatnya kita kembali menjadi mahasiswa sebenarnya. Mahasiswa yang memiliki spirit and power untuk menuju bangsa yang lebih bermartabat. Mahasiswa yang tidak mudah untuk terprovokasi oleh bualan busuk adu domba. Saatnya mahasiswa kembali pada hakikatnya.

Read more...

  © Blogger template Brownium by Ourblogtemplates.com 2009

Back to TOP