Renung ..
Jumat, 30 Januari 2009
Berdiri tegaklah di hadapan pintu Tuhanmu,//Tinggalkanlah yang lain./Mohonkan padanya selamat/Dari perdayaan negeri yang penuh fitnah ini
(Al Haddad)
Kita hidup di dunia yang tua, nyaris kehilangan nafas kehidupannya. Dunia yang lebih banyak menggambarkan kehilangan daripada harapan. Dunia yang meletakkan dominasi akal diatas cinta. Yang menggambarkan dualitas jiwa dan materi, melemparkan wahyu ke sudut peradaban.
Janganlah takjub terhadap barat ataupun timur.//Karena dunia lama dan baru ini,/Tidak sebanding dengan harga sebiji gandum
(Sir Muhammad Iqbal, Javid Nama)
Indonesia, sebuah negeri yang hiruk pikuknya justru berarti kegetiran. Negeri yang selalu menjadi anomali saat terjajar dengan negeri lain. Negeri yang menua dengan kelelahan dan tanpa masa depan. Dan nafasnya kini semakin berat…
Tapi tidak! Bukan berarti aku tak mencintai negeriku. Bahkan aku mencintainya lebih daripada sosok-sosok berlabel ‘nasionalis’ di Majelis Rendah itu! Aku mencintai Indonesia seperti Bilal saat mengenang Mekkah. Demikianlah Islam mengajariku mencintai negeriku, bahkan saat kutahu tiada satu alasan rasional pun yang bisa membuatku mencintainya.
Sungguh, telah kuteriakkan kegelisahan itu. Mengingatkan Indonesia bahwa ia telah rapuh dan kan terkeping-keping. Mengatakan padanya bahwa gemah ripah loh jinawi itu telah menjadi kosakata dongeng. Memintanya untuk taubat. Untuk bersujud. Untuk membumi bertemu dengan nurani ibu pertiwi. Untuk merendah bertemu dengan kuasa Allah. Indonesia - sungguh - telah kuminta untuk bersujud.
Tapi mungkin ia butuh masjid. Indonesia butuh masjid. Tempat ia bertafakur menemukan nurani. Menemukan Tuhan, menemukan akhlaq hidup bernama Islam.
…………//Ya Allah//Kami dengan cemas menunggu//kedatangan burung dara//yang membawa ranting zaitun.//Di kaki bianglala//leluhur kami bersujud dan berdoa.//Isinya persis doaku ini.//Lindungilah anak cucuku.//Lindungilah daya hidup mereka.//Lindungilah daya cipta mereka.//Ya Allah, satu-satunya Tuhan kami.//Sumber dari hidup kami ini.//Kuasa Yang Tanpa Tandingan//Tempat tumpuan dan gantungan.//Tak ada samanya//di seluruh semesta raya.//Allah! Allah! Allah! Allah!
(W.S. Rendra, Doa untuk Anak-cucuku, 1992)
Tapi bagaimanakah membangun masjid untuk negeri ini? Aku percaya bahwa cara terbaik adalah mengawalinya dengan membangun sarang. Dengan butir-butir, dengan batang-batang, dan dengan lembar daun-daun. Meski itu hanyalah rerumputan sederhana. Sarang ‘peradaban’ yang bermula shalat-sujud penyerahan dan pengorbanan. Sarang ‘perjuangan’ dengan awal sajadah terhampar. Sajadah cinta.
Dari sarang ‘peradaban’ inilah yang InsyaAllah kelak akan tercipta generasi baru. Masa depan Indonesia - bahkan umat manusia - adalah generasi ini. Generasi yang tumbuh dalam lingkungan kebaikan dan cinta, yang berhasil memenangkan kecenderungan kebaikannya (taqwa) atas ego kejahatannya (fujuur). Yang akan terus menerus tumbuh besar untuk menghadang angin. Terus menerus hingga angin kelelahan dan pulang.
Angin itu, Muhammad Quthb sebut sebagai kenyataan yang membuat kehidupan manusia akan tersusun atas keresahan, keraguan, atau kegelisahan. Kenyataan terus menerus yang katanya harus diatasi dengan “sarang” yang kokoh bernama keluarga bersama “teman” bernama pasangan hidup. Maha Benar Allah yang berfirman:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, supaya kamu menemukan rasa tenteram, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa cinta kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar Ruum 21)
Sarang ‘peradaban’ inilah yang melahirkan kekuatan maha dahsyat, kekuatan yang bisa memperbaiki -jika ia mau- atau menghancurkan sebuah bangsa. Sarang yang membuat Husain Muhammad Yusuf, dalam ahdaf al-usrah fil Islam, berani mengatakan bahwa inilah dasar dari sebuah negara, batu pertama untuk membangun negara. Ia melanjutkan dengan membahas betapa pentingnya keluarga ini, bahwa gambaran kekuatan yang dimiliki keluarga dan dalamnya fondasi nilai yang ada padanya, maka sejauh itulah gambaran moralitas dan kemuliaan bangsa tersebut. Inilah insfrastruktur utama masyarakat Islam dalam mengemban amanat istikhlaf - tugas-tugas kekhalifahan (Ismail Raji’ Al-Faruqi).
0 komentar:
Posting Komentar