Saatnya Kaum Muda Memimpin
Senin, 26 Januari 2009
Himmatus syabab, hikmatus syukhuh*". Semangat pemuda dan kebijaksanaan
seorang tua. Demikian sebuah adagium Arab mengatakan. Itulah gambaran ideal
karakter seorang pemimpin. Ia bersemangat berapi-api seperti pemuda dan
bijaksana laksana orang tua. Tentang kebijaksanaan, Victor Frankl, pakar
psikologi kenamaan, mengatakan bahwa mereka yang mampu memaknai setiap
aktivitasnya dalam hidup memiliki kekuatan untuk bertahan hidup di dunia
yang fana ini.
Bersemangat dan bijaksana. Dua hal yang saling melengkapi dan tak jarang
menjadi kontroversi. Seperti wacana "presiden muda versus presiden tua" yang
disuarakan salah satu pimpinan parpol Islam yang bergayung sambut dengan
tantangan bersaing di panggung pemilihan presiden 2009 dari salah satu calon
presiden dari sebuah partai terbesar di Indonesia saat ini.
Pemuda, seperti yang asosiasi yang melekat padanya, mewakili sesuatu yang
baru, perubahan. Wacana serupa yang juga diusung Barack Obama, 47 tahun,
calon presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat yang bertema "*the
change we can believe in*". Perubahan dan memercayai perubahan, itulah
semangat muda yang diusung Obama yang juga didukung mayoritas kalangan muda
Amerika Serikat.
Yang unik, seperti adagium di atas, Obama yang merupakan kandidat presiden
keturunan Muslim dan kulit hitam pertama di negara adikuasa tersebut
menggandeng seorang politisi kawakan berusia 65 tahun – yang dianggap
berpengalaman dalam persoalan internasional – Joe Biden sebagai kandidat
wakil presiden. Di sisi lain, lawan Obama yang dianggap sebagai kalangan tua
– John McCain – yang merupakan kandidat presiden AS tertua sepanjang
sejarah, 72 tahun, juga menggaet Sarah Palin, seorang gubernur negara bagian
Alaska, berusia 44 tahun sebagai kandidat wakil presiden. Sepertinya mereka
percaya betul dengan adagium di atas. Lalu bagaimana dengan kita di
Indonesia?
*Muda versus tua?*
Wacana "presiden muda versus presiden tua" di Indonesia yang sempat hangat
bergulir di media massa, konon, melemah tuahnya seiring sedemikian banyaknya
*statement *perelatifan yang dilakukan kalangan politisi di Indonesia – yang
didominasi kalangan berusia 50-an tahun ke atas – yang gencar menyerukan
bahwa kualitas kepemimpinan tak memandang usia atau wacana tua-muda hanya
memecah belah bangsa. Sangat disesalkan wacana berharga yang sebetulnya bisa
menjadi gelindingan diskursus yang lebih serius dan formal mengenai peran
kepemimpinan pemuda dalam bangsa Indonesia ini layu sebelum berkembang.
Sebetulnya, berpijak dari wacana tersebut, kita sebagai anak bangsa dapat
merangkai dan mengurut secara historis rekam jejak kontribusi pemuda dalam
kepemimpinan bangsa ini. Setidaknya sejak Sumpah Pemuda tahun 1928, sebagai
titik tolak bersama. Selanjutnya, berdasarkan kajian historis dan tinjauan
kekinian tersebut niscaya ada input produktif dan potensial bagi narasi
besar bangsa ini tentang konsep kepemimpinan bangsa ke depan, yang
jangkauannya tidak hanya sebatas hingga Pemilu 2009 tapi beberapa dekade ke
depan. Minimal dapat membuahkan sebuah konsep regenerasi atau suksesi
kepemimpinan negara yang teratur dan bervisi – namun dengan lebih humanis
dan demokratis -- seperti yang diterapkan Lee Kuan Yew di Singapura. Sayang
realitas politik praktis negeri ini terlalu kejam memangsa buah ide brilian
dari anak bangsanya sendiri.
Namun di sisi lain, sebagai pemuda, kita layak mengevaluasi dan
berintrospeksi apakah kontrbusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa (baca:
kepemimpinan pemuda) yang selama ini didengung-dengungkan – di mana
peristiwa Sumpah Pemuda secara kolektif dikenang sebagai tonggak historis –
merupakan mitos atau fakta. Sebagai komunitas atau bangsa, sesuai fungsinya,
kadang mitos memang diperlukan untuk membangkitkan semangat atau
membangkitkan kenangan heroik nan patriotik. Namun, mitos yang kelewat megah
juga acapkali membelenggu dan memanjakan para pengagum yang menganggapnya
sebagai hal yang *taken for granted*, diberikan begitu saja. Padahal
realitas keseharian kita membuktikan bahwa *no free lunch*, tidak ada hal
yang gratis alias diberikan begitu saja. Semua perlu ikhtiar dan tekad kuat.
Memang versi resmi rekaman sejarah nasional berbicara bahwa pada setiap
pergolakan kekuasaan di negeri ini kalangan muda selalu tampil terdepan.
Bahkan jauh sebelum 1928, pada tahun 1905, H. Samanhudi sebagai tokoh muda
pedagang batik dari Semarang tampil membangun SDI (Serikat Dagang Islam)
sebagai organisasi perjuangan melawan dominasi penjajahan. Tahun 1908, dr.
Soetomo dari STOVIA, sebuah sekolah dokter Jawa yang didirikan Belanda,
mendirikan Boedi Utomo. Gerakan-gerakan perjuangan kebangsaan tersebut
memuncak pada 1928 ketika berbagai *jong* atau *bond *pemuda dari berbagai
penjuru nusantara menyatukan tekad kebangsaan pada Kongres Pemuda II di
Jakarta.
Saat proklamasi 1945, Soekarno dkk yang berusia 45-an tahun bergerak
mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Tahun 1966, Soe Hoek Gie dkk gantian
menggulingkan rezim Orde Lama yang dipimpin Soekarno – tokoh pemuda yang
berubah menjadi tiran. Tahun 1974, Hariman Siregar dkk menggoyang dominasi
produk Jepang di Indonesia di bawah rezim Orde Baru pimpinan Soeharto. Tahun
1998, gerakan reformasi 1998 yang dimotori kalangan mahasiswa melengserkan
Soeharto -- seorang perwira muda berusia 46 tahun yang menggantikan Soekarno
sebagai presiden Republik Indonesia melalui Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) 1966 – dan menjelma menjadi diktator yang berkuasa selama 32
tahun. Selepas 1998 pun berbagai aksi demonstrasi – sebuah fakta yang kasat
mata – banyak dilakukan pemuda dalam hal ini kalangan mahasiswa dan
intelektual muda.
Apakah semua itu murni kontribusi pemuda? Tidakkah kelewat berat beban
sejarah tersebut dipanggul sendirian oleh kalangan muda sebagai satu
kalangan dari banyak elemen penyusun sebuah bangsa?
Maaf, jika terkesan terlalu skeptis. Seperti kata Rene Descartes, "*I think
therefore I am*." Untuk menemukan kebenaran, salah satunya, kita harus
mempertanyakan banyak hal secara kritis. Termasuk terhadap diri kita
sendiri.
Kahlil Gibran berkata, "Kita semuanya terpenjara, namun beberapa di antara
kita berada dalam sel berjendela. Dan beberapa lainnya dalam sel tanpa
jendela." Nah, haruskah kita terpenjara dalam berbagai dikotomi yang
menyekat kehidupan sosial bangsa seperti nasionalis-religius, tua-muda, atau
ortodoks-progresif?
*Siapakah pemuda?*
Ada tiga hal yang merupakan ciri pemuda: perubahan, semangat dan
kemandirian. Perubahan sarat dengan muatan visi, gagasan, kepedulian dan
harapan. John C. Maxwell berujar, "Orang tidak peduli seberapa banyak yang
Anda ketahui, hingga mereka tahu seberapa jauh Anda peduli." Dalam *The
Seven Habits for Highly Effective People*, Stephen R. Covey berpesan,
"Taburlah gagasan petiklah perbuatan; taburlah perbuatan petiklah kebiasaan;
taburlah kebiasaan petiklah karakter; taburlah karakter petiklah nasib."
Harapan, menurut Ary Ginanjar Agustian dalam bukunya berjudul *ESQ *(*Emotional
Spiritual Quotient*), 2005, adalah bahwa saat kita berjanji, sesungguhnya
kita menarik energi suara hati orang lain secara besar-besaran. Inilah yang
dinamakan harapan. Lalu energi itu kita bawa pulang, dan jika tidak kita
kembalikan ke sumbernya, keseimbangan orang lain akan terganggu. Harapan
(akan realisasi janji tersebut) telah kita tarik, dan belum kita kembalikan
(baca: janji belum terealisasi). Percayalah, setiap aksi akan menimbulkan
reaksi.
Sementara semangat mewakili aksioma optimisme dan proaktif. Menurut Stephen
R Covey, "Sikap proaktif sangat berguna bagi manusia terutama dalam
menghadapi rintangan maupun dalam berinteraksi dengan manusia lain. Sikap
proaktif menunjukkan tingkat kecerdasan emosional yang tinggi." Lawan
proaktif adalah reaktif, lagi-lagi meminjam istilah Stephen R. Covey, "Reaktif
adalah sikap seseorang yang gagal membuat pilihan respon saat mendapat
rangsangan atau stimulus dari orang lain."
Dan kemandirian mewakili muatan kritisisme dan nalar. "Menerima ide-ide
tanpa berpikir merupakan virus yang meracuni kebutuhan manusia akan
pembebasan, berolah nalar, bertanya dan berimajinasi," ujar Milan Kundera.
Menurut sastrawan dan cendikiawan dunia ini, hal tersebut menelan individu
dalam kerumunan kolektif. Kebutuhan manusia akan individualitas, prinsip dan
orisinalitas lenyap dalam komunalitas tanpa makna. Ya, komunalitas tanpa
makna inilah yang saat ini, dalam konteks lokal, dalam salah satu bentuknya
menjelma dalam demonstrasi atau tawuran brutal.
Dalam 80 tahun (1908-2008) kontribusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa,
hukum besi semesta tersebut telah terbukti dalam berbagai bentuknya.
Namun, ada sebuah pertanyaan besar lain: apakah *pemuda *lebih merupakan
kata sifat atau kata benda? Perhatikan berbagai fakta sejarah tersebut di
atas. Sebagai kata sifat, ia tak butuh rupa fisik yang gagah. Sepanjang ia
memiliki semangat dan visi perubahan, ia adalah *pemuda*. Meskipun seorang
gaek sekalipun seperti Abdurrahman Wahid yang berusia 68 tahun. Sebagai kata
benda, ia memang harus muda, cergas dan lincah selayaknya Barack Obama. Tapi
banyak orang-orang muda gagah, berusia belia yang pemikirannya hanya
mengkopi ide-ide lama bahkan anti perubahan. Apakah mereka layak disebut *
pemuda* dalam artian sebenarnya?
Singkatnya, secara ideal, pemuda adalah kata sifat dan kata benda. Seorang
pemuda selain berusia muda (di bawah 50 tahun) juga memiliki visi perubahan
(ke arah yang lebih baik) dan memiliki semangat antusiasme yang besar.
Demikian juga soal *hikmatus syukhuh*, kebijaksanaan, yang erat
diasosiasikan dengan *privilege* kalangan tua—bahkan terkesan
dilegitimasikan dengan RUU Mahkamah Agung (MA) yang memperpanjang usia
pensiun hakim agung hingga usia 70 tahun – adalah hal yang juga lebih
merupakan kata sifat. Seorang pemuda, dengan intensitas dan interaksinya,
dapat memiliki kebijaksanaan tersebut dalam satu wujud. Tak perlu harus
dalam satu paket tua-muda seperti pola pencalonan kandidat presiden dan
wakil presiden di Amerika Serikat yang terkesan melestarikan dikotomi abadi
tersebut.
Jika ada standar saklek, itulah perubahan. Pemuda adalah perubahan. Itu
harga mati. Soekarno muda pada 1945 – tatkala usia 45 tahun--adalah seorang
pendobrak. Tapi ketika ia tak mau berubah, ia menjadi tiran, dan menua.
Soeharto muda mendobrak ekonomi bangsa selepas 1966 dengan konsep
pembangunan Repelita terencana. Tapi ketika ia tak mau berubah baik karena
alasan kroni atau korupsi, ia anti perubahan, ia menua. Lagi-lagi pemuda
adalah perubahan. Demikian hukum semesta yang berlaku pada kalangan
pergerakan dari Akbar Tanjung dkk (1966), Hariman Siregar dkk maupun
kalangan aktivis pergerakan 98 dan angkatan-angkatan pemuda yang akan terus
bermunculan.
*Yang muda yang memimpin*
Dalam kutipan panjangnya, Ary Ginanjar Agustian mengatakan,"Manajemen adalah
mengerjakan segalanya secara benar (*do the things right*); kepemimpinan
adalah mengerjakan hal-hal yang benar (*do the right thing*). Manajemen
melakukan efisiensi dalam menaiki tangga keberhasilan; sedangkan
kepemimpinan adalah menentukan apakah tangganya bersandar pada dinding yang
benar."
Untuk menentukan keberhasilan sang peletak tangga, kita memerlukan sumber
komitmen. Di level korporasi, Kouzes dan Postner (*Leadership Challenge*,
2002) mengatakan bahwa sumber komitmen yang tinggi bukanlah pada kokohnya *core
values* perusahaan tetapi lebih kepada *personal values* (nilai-nilai
pribadi) karyawan yang kokoh. Karena justru nilai pribadilah yang
sesungguhnya lebih tercermin dalam praktik kerja sehari-hari, bukan nilai
perusahaan. Inilah yang disebut *spiritual capital, *modal spiritual. Hal
ini dapat diproyeksikan dalam skup yang lebih luas yakni bangsa. Kita perlu
lapisan (baca: bukan hanya seorang tokoh atau pemimpin tunggal) pemimpin
yang berkomitmen berdasarkan modal spiritual.
Dalam konteks anatomi sejarah peradaban, kepemimpinan pemuda adalah hal yang
alamiah, fitrah. Di usia tua, seseorang cenderung lebih banyak berpikir dan
akibatnya cenderung lebih ragu atau takut memulai untuk sesuatu yang baru.
Sementara pemuda, dengan kemudaannya dan semangat menyala, cenderung
bertindak.
Namun, dalam banyak riwayat perjalanan sejarah, kalangan tua terbukti banyak
menyokong kalangan muda. Ini artinya kepemimpinan muda bukanlah hal yang
kelewat istimewa atau megah, yang harus dipuja-puja dengan meninggalkan atau
bahkan menginjak kalangan tua. Ia hanyalah merupakan pergiliran alamiah.
Maka membincangkan kontribusi pemuda dalam kepemimpinan bangsa adalah
membincangkan suatu bangsa secara utuh, tak bisa terlepas dari kontribusi
elemen bangsa yang lain termasuk kalangan tua. Dalam teori *marketing*,
semua segmen sama, dan pemuda hanyalah merupakan satu segmen yang tingkat
urgensinya tergantung konteks. Jadi kepemimpinan pemuda adalah suatu fakta.
Tapi ia bukan pemuda *an-sich*. Ia adalah bagian elemen anak bangsa yang
tidak bisa berdiri sendiri. Dalam sebuah keluarga besar tak semua harus maju
terdepan. Tak lantas setiap orang muda membawa perubahan. Pemuda adalah kata
sifat dan kata benda, dan standarnya adalah perubahan. Sekalipun ia berusia
muda namun hanya membawa ide lama maka ia telah gagal sebagai
*pemuda*kendati mengusung bendera ormas pemuda dengan gegap-gempita.
Dan ia tak
layak sebagai pemegang estafet untuk menentukan ke arah mana tangga bangsa
akan disandarkan,
Seperti kata Isaac Newton, "*I could see farther because I was standing on
the giants' shoulders*." Jika para pemuda dapat memandang lebih jauh ke
depan, itu juga karena berpijak pada pengalaman dan kontribusi para raksasa
tua sebelumnya*. *Alangkah indahnya jika bangsa ini dapat menghapus segala
sekat dan dikotomi sosial yang ada dengan memerhatikan hukum besi semesta
dan sejarah bangsa yang merupakan *sunnatullah *bahwa adalah hak dan
kewajiban orang muda sebagai pemimpin dengan bimbingan kalangan yang lebih
tua sebagai pemandu. Jika demikian adanya, sebagai bangsa, kita *Insya Allah
* sangat yakin bahwa negeri ini pasti akan bangkit menjadi bangsa yang besar
sebagaimana sejarahnya di masa lampau. Percayalah, harapan itu masih ada.*
****
0 komentar:
Posting Komentar